Oleh : Elma Fitria

Setiap anak akan tumbuh menjadi manusia dewasa. Itu pasti. Tapi usia berapa sih seorang manusia sudah pasti bisa disebut dewasa ? Menariknya, tidak ada angka yang pasti, tergantung dari apa itu definisi dewasa. Ternyata tiap orang punya beda sudut pandang untuk hal ini. Supaya adil, mari kita lihat bagaimana lembaga resmi menetapkan definisi dewasa.

Saya mengutip materi yang disampaikan Ustadz Adriano Rusfi dalam Workshop Pendidikan Aqil Baligh, ketika Ustadz bercerita tentang definisi yang dibawa oleh BKKBN dalam sebuah acara nasional di Jogja.

BKKBN adalah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, dahulu BKKBN adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Perubahan nama ini penting, karena dengan perubahan ini, sekarang BKKBN menyatakan perhatian besarnya pada masalah kependudukan tidak hanya sekedar urusan keluarga berencana saja.

Kiblat BKKBN se-Indonesia itu ke BKKBN Jogja, karena dianggap paling sukses dengan program keluarga berencana. Dalam sebuah acara BKKBN di Jogja, disampaikan bahwa menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah :

“Keadaan dimana fisik mental dan sosial secara utuh menjalankan fungsi fungsi reproduksi”

Sebentar, berhenti dulu disini sejenak.

Apa hubungannya antara kesehatan reproduksi dengan definisi dewasa ?

Menurut pandangan umum, dewasa ditandai dengan kemampuan untuk melakukan fungsi reproduksi. Tentunya kita merujuk pada kemampuan yang dilakukan secara sehat, artinya ini juga akan mengacu ke kesehatan reproduksi. Nah, menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah keadaan dimana fisik mental dan sosial secara utuh menjalankan fungsi fungsi reproduksi.

Tapi masalahnya, remaja pun sudah bisa melakukan fungsi reproduksi. Lalu mengapa remaja tidak disebut dewasa jika dilihat dari definisi WHO ?

Nah, disinilah definisi menjadi seolah bentrok. Karena ada segolongan manusia yang disebut remaja, yang sudah bisa melakukan fungsi reproduksi tapi tidak bisa dikategorikan dewasa.

Mengapa tidak bisa ? karena umumnya remaja belum matang secara pemikiran, perasaan, emosi, dan finansial. Masih sulit mengambil keputusan dengan tepat. Masih galau dengan situasi dirinya. Masih berkutat dengan tuntutan akademis. Masih belum bisa menghadapi diri sendiri.

Justru akan jadi kondisi yang mengkhawatirkan jika seorang manusia fokus pada kematangan fungsi reproduksinya, tapi kekanak-kanakan dalam hal pemikiran, perasaan, emosi, finansial, tanggung jawab, dll.

Namun nyatanya, inilah masalah yang sering terjadi. Banyak sekali di sekitar kita.

Ada begitu banyak manusia, yang disebut remaja, terjebak dalam masalah-masalah serupa dan berulang, sampai sampai kita melihatnya menjadi fenomena tersendiri yang umum dan dimaklumi semua orang. Bukan hanya tentang pubertas yang mengarah ke pergaulan seksual, tapi juga agresivitas yang dituangkan dalam bentuk tawuran, nge-gang, bullying, sampai ke masalah peer pressure, bahkan narkoba dan tindak kriminal.

Acapkali kita dengar orang tua yang berusaha menenangkan orang tua lainnya yang sedang frustasi tentang anaknya dengan mengatakan “Biasalah, namanya juga remaja. Memang lagi usianya begitu”.

Ustadz Adriano Rusfi mengatakan kalau dulu Soekarno berkata “Beri aku 10 pemuda, maka akan aku guncang dunia.” Tapi kini, yang disebut pemuda itu sudah tidak ada, yang banyak adalah remaja dengan beragam masalah khasnya, maka Ustadz berkata “Beri aku 1 remaja, pusing kepalaku dibuatnya”.

Begitu banyaknya masalah seputar remaja, bahkan sampai ke masalah tindak kriminal, yang membuat kita jadi berpikir bahwa ini bukti nyata mereka ini belum dewasa. Meskipun fungsi biologis mereka berkata lain.

“Remaja adalah sebuah fenomena yang harus diakui memang ada. Namun bukan sebagai sebuah kemestian. Artinya ketika faktanya memang ada fenomena remaja, justru disitulah masalahnya, karena semestinya itu tidak perlu ada. Kalau memang remaja itu konstitusional, mestinya dikenal sejak zaman Adam a.s. tapi ini ternyata tidak” – Ustadz Adriano Rusfi

Wah, jika remaja itu bukan kemestian, berarti bagaimana dong yang benar ? Apakah semestinya anak itu tumbuh langsung jadi dewasa ? Tidak melewati masa remaja dulu ?

Iya.

Ternyata memang itu jawabannya.

Dalam Islam dan agama mana pun, sebenarnya tidak pernah ada istilah remaja. Hanya ada istilah anak dan dewasa.

Dalam budaya tradisional dari suku manapun, tidak pernah ada pengakuan sebagai remaja. Yang ada adalah fase anak, dan sebuah gerbang atau ritual sebagai pengakuan bersama bahwa seorang anak telah menjadi dewasa.

Artinya, seorang manusia diharapkan memiliki kematangan berpikir dan merasa bersamaan dengan kematangan fungsi reproduksinya. 

Dalam Islam ini dinamakan Aqil bersamaan dengan Baligh. Aqil Baligh.

Aqil adalah kematangan pemikiran, perasaan, emosi, sehingga ada keterkaitan erat antara otak dan hatinya. Misalnya, orang yang aqil tahu bahwa berhubungan seksual bisa menyebabkan kehamilan, maka menyadari konsekuensi bahwa bisa hamil membuatnya bersedia menunda kesenangan melakukan hubungan seksual sampai waktunya nanti menikah. Ini contoh keterkaitan otak dan hati, dalam hal ini perasaan. Bersedia menunda kesenangan, meskipun fisik sudah siap dan fungsional.

Baligh adalah kematangan fungsi reproduksi. Tandanya adalah menstruasi pertama pada perempuan, dan mimpi basah pertama pada laki-laki.

Frasenya pun Aqil Baligh, artinya Aqil dulu, baru Baligh. Penting untuk mencapai kematangan pikiran dan perasaan dulu sebelum kematangan fungsi reproduksi.

Dari sini, kita bisa melihat secercah harapan. Jika anak anak dipandu dan dituntun untuk Aqil dulu baru Baligh, begitu banyak masalah fenomena ke-remaja-an yang bisa dicegah, karena mereka akan mengerem diri sendiri dari bertindak tanpa berpikir, dan mereka akan fokus pada produktivitas karena didorong oleh kematangan pemikirannya sendiri.

Masih panjang pembahasan tentang Aqil Baligh ini, karena masih banyak hal yang bisa dieksplor lagi.

Semoga secercah harapan akan tumbuhnya generasi Aqil Baligh menyemangati setiap langkah kita menjadi orang tua dalam membersamai anak anak kita.

Leave a Comment