Oleh : Muhammad Firman

Sebelum menginginkan anak kita menjadi sebaik ini atau sebaik itu, jadi seperti ini atau jadi seperti itu, sudah semestinya kita memikirkan dan mengusahakan diri menjadi sebaik-baiknya orangtua.

Karena,
Akan menjadi apa anak kita adalah rencana Allah, prosesnya akan berlangsung dalam alur serta ukuran-ukuran Allah. Menempatkan proses hidup anak dalam ruang imajinasi kita akan membuat kita salah bersikap dan justru tak hidup di dalam realita Ilahi. Lalu kita menganggapnya sesuatu yang bisa kita kendalikan, dan kita jadi tak mampu memahami alur yang Allah berikan baginya jika itu berbeda dengan imajinasi kita.

Karena,
Allah telah menjadikannya lahir dengan fitrah yang hanif. Tugas orangtua adalah memeliharanya, serta menjaga fitrah itu tetap lurus. Itu artinya kita mesti jadi penjaga, bukan penentu, pendamping, bukan pendikte. Itu juga tentang bagaimana kita menjalankan tugas sebaik-baiknya. Tentang mengukur dan mengevaluasi diri kita sesuai ukuran-ukuran Allah, bukan tentang mengukur dan mengevaluasi anak dengan ukuran dan imajinasi kita.

Karena,
Jika kita berpikir tentang “akan menjadi anak yang sebaik ini atau sebaik itu”, maka kalimat itu semestinya dilekatkan pada diri kita terlebih dahulu. Kita adalah anak dari orangtua kita, sebelum kita menjadi orangtua dari anak kita. Dan mereka, anak-anak kita, pastilah akan melihat bagaimana kita sebagai anak dari orangtua kita. Mereka akan melihat apa teladan yang kita berikan. Maka sekali lagi, jadilah orangtua yang baik. Berilah teladan yang baik.

Karena,
Sebagai orangtua kita hanya sanggup berimajinasi tentang keberhasilan dan kehormatan yang akan diraih anak kita. Kita tak mampu membayangkan apa saja kegagalan dan kehinaan yang harus dilalui anak kita untuk sampai di tujuan akhir misi hidupnya. Lalu apakah kita akan menjadi orangtua yang membanggakan anak saat ia berhasil namun menolaknya saat ia gagal? Allah Maha Adil dan Seimbang. Allah yang akan meracik alur hidupnya sedemikian rupa. Imajinasi kita tidak berguna apa-apa.

Karena,
Tugas kita memang itu, menjadi orangtua. Lakukan yang terbaik, maka Allah akan ridho. Keridhoan Allah atas kita semoga menjadi naungan berkah bagi anak-anak kita. Lalu dalam naungan berkah itu mereka tumbuh menjadi manusia yang baik melebihi batas-batas imajinasi kita. Seorang jenderal, peneliti penemu kelas dunia, hafidz dan ulama besar bisa terlahir dari orangtua berpendidikan terbatas, dari petani desa, atau guru biasa. Bukan imajinasi mereka yang mengantarkan anak-anaknya, tapi doa dan dedikasi pengabdian mereka sebagai orangtua. Apa yang diraih sang anak bisa jadi tak pernah ada di alam pikiran mereka.

Jadilah orangtua terbaik. Ikhtiarkan yang terbaik. Simpan imajinasi kita. Ganti dengan doa. Itulah tugas kita.

One Thought to “Mendampingi, Bukan Mendikte”

  1. Farah Abubakar

    Jazakalloohu khoiir diingatkan kembali akan peran masing-masing

Leave a Comment